Ojek adalah angkutan umum tidak resmi yang sering dijumpai di jalanan. Sebuah angkutan umum menggunakan sepeda motor yang bisa mengantar seseorang kemana saja motor itu bisa melaju, layaknya taksi namun bukan memakai mobil, tidak bisa mengangkut banyak orang dan tidak menggunakan argometer.
Saat ini pangkalan ojek menjamur di seluruh pelosok kota dan daerah. Bahkan untuk mencapai sebuah daerah pantai yang konon masih “perawan”, seorang teman harus menaiki ojek, karena itu adalah satu-satunya alat angkutan darat yang ada. Untuk pemakaian di kota, ojek sering dimanfaatkan oleh seseorang yang ingin segera tiba di tujuannya, dikarenakan sebuah ojek dapat menembus kemacetan jalan dengan ukurannya yang kecil.
Pangkalan ojek yang ada pun kini sudah banyak yang dihias, berbentuk hampir seperti pos penjagaan lingkungan, bahkan ada beberapa pangkalan ojek yang terdapat televisi didalamnya, sebagai hiburan bagi para pengendara ojek dikala menunggu calon penumpang. Motor-motor para tukang ojek biasanya berjejer rapih di pinggir jalan dekat tempat para pengemudinya berteduh. Tapi tidak jarang pula para pengemudinya terlihat menunggu diatas motor mereka, dengan cara berpakaian yang bervariasi (ada yang rapih, tapi ada juga yang terlihat sangat dekil).
Tapi ada juga para tukang ojek yang tingkahnya saya anggap sebagai tindakan orang gila, tidak teratur seperti ojek lainnya.
Saya setiap hari sepulang dari tempat bekerja pasti menemui tukang ojek dengan kelakuan gila. Tidak hanya satu, tapi begitu banyaknya dan terletak di pangkalan yang berbeda-beda pula. Bagaimana tidak disebut gila? Para tukang ojek itu awalnya memang menunggu di pinggir jalan, tapi kemudian bila ada angkutan umum lain yang lewat maka tukang ojek gila itu akan memacu motornya mengiringi angkutan umum sambil berharap penumpang angkutan umum itu akan turun dan menaiki ojeknya. Jika angkutan umumnya melaju dengan kecepatan tinggi, maka tukang ojek gila itu tidak mau kalah, dia juga memacu motornya sampai motornya tersebut sejajar dengan pintu keluar angkutan umum. Malah ada yang memanggil-manggil para penumpang, menawarkan –atau lebih tepatnya mengajak setengah memaksa- penumpang angkutan umum untuk manaiki motornya, dengan “rayuan” naik ojek lebih cepat sampai ketimbang naik angkot.
Jika tidak mengejar angkutan umum yang lewat, mereka akan menghampiri setiap –catat, setiap- kendaraan yang berhenti dan menurunkan orang di dekat mereka, seolah-olah orang yang turun itu pasti akan melanjutkan perjalanan dengan ojek. Ada beberapa yang bahkan membuka pintu kendaraan yang berhenti, seolah-olah penumpang di dalamnya pasti turun dari kendaraan itu. Jika yang turun tidak menaiki motor mereka, beberapa bahkan ada yang dengan beraninya menyebut “pelit” atau “miskin” orang yang tidak menaiki ojek mereka. Dimana otaknya sih para pengemudi ojek yang seperti itu?
Tindakan-tindakan yang mereka lakukan itu sudah kelewat batas. Katakanlah mereka berebut mencari rezeki, tapi apa iya harus membahayakan diri sendiri dan orang lain? Berapa sih ongkos ojek yang mereka terima? Apakah sepadan dengan mempertaruhkan keselamatan? Apakah setara dengan biaya pengobatan jika mereka celaka atau mencelakai orang lain? Apakah setara dengan biaya bagi keluarga mereka jika mereka meninggal? Apa salahnya sih menunggu dengan tertib, hanya bergerak jika ada yang benar-benar memanggil dan membutuhkan jasa mereka? Saya sendiri tidak pernah mau naik ojek jika pengendaranya berkelakuan seperti itu, berbahaya buat keselamatan diri sendiri.
2 comments:
lu lagi ngomongin tukang ojek yang di curug kah? yang rese2 itu?
Sebenarnya ada beberapa tempat di sepanjang kalimalang, tapi memang yang di Curug itu yang parah
Post a Comment