Beberapa hari belakangan, semasa liburan Lebaran ini, keseharian saya seperti layaknya seekor beruang. Setiap hari diisi dengan tidur dan makan, disellingi kegiatan yang (menurut banyak orang) tidak bermanfaat hehehehe....
Oleh karena itu beberapa hari belakangan ini status di Facebook saya berhubungan dengan beruang, dimulai dari Polar bear mode On, Grizzlie bear mode On, sampai ke Honey Bear mode On. Sebenarnya semua beruang memang memiliki masa hibernasi dimana mereka akan tidur dalam waktu yang cukup lama untuk menghemat energi mereka, jadi tidak masalah beruang mana yang saya pakai.
Awalnya saya pakai polar bear alias beruang kutub karena warnanya putih dan terlihat lebih lucu (saya kan lucu, jadi cocok dong hehehehe). Tapi kemudian ada yang protes, katanya saya lebih cocok seperti beruang madu karena hitam (uhhh!). Akhirnya saya ambil jalan tengah, mengganti menjadi beruang grizzly yang berwarna coklat. Setelah beberapa saat, kalau dipikir-pikir, beruang grizzly kan menyeramkan, biarpun coklat (seperti warna kulit saya) tapi grizzly besar dan menyeramkan. Sehingga pada akhirnya saya menurut dan memakai beruang madu yang berwarna hitam.
Lebih cocok manakah?
Sep 23, 2009
The Bear Writes a Blog
Sep 18, 2009
Perutkuuu……
Kenapa dengan perutku? Buncit? Kalau itu sih semua yang pernah melihat saya sudah tau. Tapi sekarang saya bukan mau menulis tentang seberapa buncit perut saya jika dibandingkan dengan perut orang lain, saya mau menulis sebuah kejadian yang berhubungan dengan perut saya yang buncit.
Perut saya (atau lebih tepatnya lambung saya) sensitif dengan makanan pedas dan asam. Seringkali jika saya memakan makanan yang pedas atau asam (atau dua-duanya, sayur asem dan sambal terasi pedas misalnya) perut saya memberontak, perut saya sakit dan memaksa saya harus bolak-balik ke toilet. Hal seperti ini yang seringkali menghalangi niat saya untuk bisa menikmati makanan tertentu, makanan yang sebenarnya sangat lezat tetapi tidak bisa saya nikmati karena rasanya.
Yanti sudah tau tentang “kekurangan” ini, dan ia dengan penuh perhatian selalu mengingatkan apabila makanan yang hendak saya santap itu asam atau pedas. Beberapa kali bahkan melarang saya menyantap makanan yang memiliki rasa asam dan pedas (terima kasih banyak sudah mengingatkan saya untuk tidak menyiksa diri sendiri). Tapi karena pada dasarnya saya sangat senang makan, dan karena pada dasarnya saya nakal, jadi seringkali peringatan atau larangannya saya tidak ikuti (maaf ya sering bikin kamu kawatir).
Nah, pada saat menulis ini, perut saya sakit luar biasa, mengerjakan tulisan ini sambil sesekali ditinggal ke toilet. Kenapa? Apakah saya habis menyantap sesuatu yang pedas dan asam?
Malam sebelumnya (lebih tepat sore sih) saya ikut buka bersama dengan teman kantor Yanti. Acaranya diadakan di sebuah restoran seafood di kawasan Jakarta Pusat. Makanan yang dipesan beraneka macam dan dalam jumlah cukup banyak. Sebut saja udang saus mayonnaise, udang api cabai garam, tahu kipas, kerang ijo, calamari ring (cumi goreng tepung), cah kangkung dan kepiting saus tiram.
Dari menu diatas, masih ada dua menu yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Ada udang bambu dan kepiting soka. Udang bambu bernama seperti itu karena memang bentuk cangkangnya seperti bambu. Sementara nama kepiting soka sering saya lihat di daftar sold out dari restoran tersebut (terlihat setiap kali saya melewati restoran tersebut), membuat saya penasaran dengan bentuk dan rasa kepiting soka. Saya tanya pada teman yang membuka tenda seafood dekat rumah, menurutnya kepiting soka adalah jenis kepiting yang cangkangnya tidak sekeras kepiting biasa sehingga bisa ikut dimakan. Entahlah apa benar seperti itu.
Mengingat saya belum pernah merasakan kedua jenis makanan itu, saya tidak mau kelupaan untuk ikut menikmati du jenis makanan tersebut. Udang bambunya dimasak dalam 2 bumbu, tidak ada yang pedas, dan rasanya mirip rasa bekicot tanpa rasa pahit yang kadang didapati pada bekicot. Lalu kepiting soka dimasak cabai garam, rasanya tidak terlalu istimewa, mirip rasa kepiting biasa, hanya saja tekstur dagingnya lebih lembut dan lebih berair.
Selama ini, saya tidak pernah punya alergi pada seafood, oleh karena itu saya dengan percaya diri menyantap makanan yang ada. Yang terjadi kemudian adalah, lidah saya gatal. Merasa itu merupakan gejala awal alergi, saya kemudian meminum susu segar, berharap susu kembali dapat menolong saya (kalau sakit atau tidak enak badan, saya sering minum susu dan kemudian merasa lebih segar). Gatal di lidah memang tidak hilang, tapi kekakuannya hilang (sebelumnya sempat terasa lidah saya kaku). Beberapa saat kemudian, saat berada di kendaraan, perut saya sakit. Sesampainya di rumah, pemberontakan perut saya agak berkurang. Akhirnya saya memutuskan untuk pergi ke warnet. Sepulangnya dari warnet, saya makan lagi, kali ini menyantap nasi goreng buatan sendiri. Setelah makan, perut saya kembali berontak, dan malam itu saya beberapa kali harus terbangun untuk pergi ke kamar mandi.
Sampai pagi ini, perut saya belum juga bersahabat. Tiba di tempat bekerja, saya langsung mampir di toilet. Setelah itu menyalakan computer, memulai menulis postingan ini, ke toilet lagi, meneruskan postingan, toilet lagi, menyelesaikan postingan ini, dan sekarang selesai sudah postingan ini. Ada yang mau berpendapat kenapa kira-kira perut saya berontak padahal saya tidak menyentuh makanan pedas atau asam? Kalau saya curiga dengan kepiting soka atau kerang bambu…..
Perut saya (atau lebih tepatnya lambung saya) sensitif dengan makanan pedas dan asam. Seringkali jika saya memakan makanan yang pedas atau asam (atau dua-duanya, sayur asem dan sambal terasi pedas misalnya) perut saya memberontak, perut saya sakit dan memaksa saya harus bolak-balik ke toilet. Hal seperti ini yang seringkali menghalangi niat saya untuk bisa menikmati makanan tertentu, makanan yang sebenarnya sangat lezat tetapi tidak bisa saya nikmati karena rasanya.
Yanti sudah tau tentang “kekurangan” ini, dan ia dengan penuh perhatian selalu mengingatkan apabila makanan yang hendak saya santap itu asam atau pedas. Beberapa kali bahkan melarang saya menyantap makanan yang memiliki rasa asam dan pedas (terima kasih banyak sudah mengingatkan saya untuk tidak menyiksa diri sendiri). Tapi karena pada dasarnya saya sangat senang makan, dan karena pada dasarnya saya nakal, jadi seringkali peringatan atau larangannya saya tidak ikuti (maaf ya sering bikin kamu kawatir).
Nah, pada saat menulis ini, perut saya sakit luar biasa, mengerjakan tulisan ini sambil sesekali ditinggal ke toilet. Kenapa? Apakah saya habis menyantap sesuatu yang pedas dan asam?
Malam sebelumnya (lebih tepat sore sih) saya ikut buka bersama dengan teman kantor Yanti. Acaranya diadakan di sebuah restoran seafood di kawasan Jakarta Pusat. Makanan yang dipesan beraneka macam dan dalam jumlah cukup banyak. Sebut saja udang saus mayonnaise, udang api cabai garam, tahu kipas, kerang ijo, calamari ring (cumi goreng tepung), cah kangkung dan kepiting saus tiram.
Dari menu diatas, masih ada dua menu yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Ada udang bambu dan kepiting soka. Udang bambu bernama seperti itu karena memang bentuk cangkangnya seperti bambu. Sementara nama kepiting soka sering saya lihat di daftar sold out dari restoran tersebut (terlihat setiap kali saya melewati restoran tersebut), membuat saya penasaran dengan bentuk dan rasa kepiting soka. Saya tanya pada teman yang membuka tenda seafood dekat rumah, menurutnya kepiting soka adalah jenis kepiting yang cangkangnya tidak sekeras kepiting biasa sehingga bisa ikut dimakan. Entahlah apa benar seperti itu.
Mengingat saya belum pernah merasakan kedua jenis makanan itu, saya tidak mau kelupaan untuk ikut menikmati du jenis makanan tersebut. Udang bambunya dimasak dalam 2 bumbu, tidak ada yang pedas, dan rasanya mirip rasa bekicot tanpa rasa pahit yang kadang didapati pada bekicot. Lalu kepiting soka dimasak cabai garam, rasanya tidak terlalu istimewa, mirip rasa kepiting biasa, hanya saja tekstur dagingnya lebih lembut dan lebih berair.
Selama ini, saya tidak pernah punya alergi pada seafood, oleh karena itu saya dengan percaya diri menyantap makanan yang ada. Yang terjadi kemudian adalah, lidah saya gatal. Merasa itu merupakan gejala awal alergi, saya kemudian meminum susu segar, berharap susu kembali dapat menolong saya (kalau sakit atau tidak enak badan, saya sering minum susu dan kemudian merasa lebih segar). Gatal di lidah memang tidak hilang, tapi kekakuannya hilang (sebelumnya sempat terasa lidah saya kaku). Beberapa saat kemudian, saat berada di kendaraan, perut saya sakit. Sesampainya di rumah, pemberontakan perut saya agak berkurang. Akhirnya saya memutuskan untuk pergi ke warnet. Sepulangnya dari warnet, saya makan lagi, kali ini menyantap nasi goreng buatan sendiri. Setelah makan, perut saya kembali berontak, dan malam itu saya beberapa kali harus terbangun untuk pergi ke kamar mandi.
Sampai pagi ini, perut saya belum juga bersahabat. Tiba di tempat bekerja, saya langsung mampir di toilet. Setelah itu menyalakan computer, memulai menulis postingan ini, ke toilet lagi, meneruskan postingan, toilet lagi, menyelesaikan postingan ini, dan sekarang selesai sudah postingan ini. Ada yang mau berpendapat kenapa kira-kira perut saya berontak padahal saya tidak menyentuh makanan pedas atau asam? Kalau saya curiga dengan kepiting soka atau kerang bambu…..
Sep 13, 2009
Lagi Lagi Soal Antri
Lagi lagi saya berurusan dengan orang yang tidak bisa mengantri dengan baik. Kejadiannya baru saja, tepatnya Sabtu 12 September 2009 di sebuah restoran yang menyajikan menu berbahan dasar ayam di Plasa Semanggi.
saat itu saya, Yanti dan Dios sedang menunggu waktu dimulainya pertunjukan film yang akan kami tonton (Final Destination - Red). Karena sudah dekat waktunya berbuka puasa, kami bergegas menempati tempat duduk di restoran itu sebelum terlalu ramai oleh pengunjung yang akan berbuka puasa. Kami secara bergantian memesan makanan agar tempat duduk kami tidak ditempati orang lain.
Saya dan Yanti kemudian mulai mengantri untuk memesan makanan. Antrian yang tidak terlalu panjang sebenarnya, hanya ada satu orang didepan kami berdua. Lalu kemudian datang 2 orang lagi dibelakang kami, dan seorang Ibu-ibu disebelah baris antrian. dari awal saya sudah mencium niat busuk ibu tersebut.
Benar saja. Segera setelah orang di depan kami beranjak pergi, si ibu dengan seenaknya hendak menyalip antrian. Ibu itu sepertinya ditegur oleh Yanti, saya sendiri terlalu sibuk memelototi ibu tersebut sehingga tidak mendengar apa yang dikatakan Yanti. Ibu itu berkata pada pramusaji restoran "Mas, air mineralnya berapa?" Mas pramusaji yang ditanya menjawab "Lima ribu lima ratus bu"
Saya kesal, sudah si ibu tidak tahu diri, si pramusaji malah meladeni, padahal dia tau kami sudah antri dari tadi. Saya dengan kesal berkata pada pramusaji tersebut "Mana managernya, saya mau bicara sama managernya." Yanti mencoba menenangkan saya sementara si pramusaji mulai berubah raut mukanya menjadi takut dan si ibu kurang ajar itu terus berusaha meyakinkan agar dia bisa dilayani lebih dulu dengan alasan hanya membeli sedikit dan cepat.
Saat saya hendak menanyakan dimana managernya kembali, si pramusaji berkata pada ibu kurang ajar itu "Maaf bu, Mba ini duluan" sambil menunjuk ke arah Yanti. Saya sudah kesal, dan meskipun si pramusaji berusaha melayani kami dengan baik, tapi saya tidak mau bicara lagi sama pramusaji bodoh itu. Saya membiarkan Yanti melakukan semua pesanan dan segala macam urusan dengan si pramusaji.
Kenapa sih orang Indonesia susah sekali mengantri? Kalaupun memang mau beli sedikit ya harus antri dong. Mau beli banyak atau sedikit semua harus antri. Orang-orang yang selalu memudahkan segala cara adalah orang yang bisa membuat negara ini hancur.
Oh, sepertinya kata-kata saya yang mencari manager restoran sangat berpengaruh pada si pramusaji bodoh. Kenapa? Dia dengan bodohnya tidak memasukkan satu pesanan kami ke dalam struk, dan salah memberikan nomor pada kami sehingga nomor yang kami pegang berbeda dengan nomor pesanan pada struk. Hal ini menyebabkan pesanan kami terlambat diantar dan sudah dingin saat tiba di meja kami. Restoran bodoh, pramusaji bodoh, dan ibu kurang ajar, lengkap sudah!
Sep 6, 2009
Buka Bersama Teman SD, and A Whole Lot More
Bulan Ramadhan sudah tiba. Di saat istimewa ini biasanya banyak diadakan acara sahur atau berbuka puasa bersama. Kami, alumni Sekolah Dasar Negeri 07 PAgi Cipinang Muara, juga tidak mau ketinggalan mengadakan acara serupa.
Idenya terbersit dari beberapa minggu lalu, saat saya dan sahabat saya Diosnardo Rahmanto, kopdar dengan 2 teman SD lain, Euis Noviyanti dan Wahyu Kumala Jati, di Plasa Senayan. Rencananya mau reunian, di sekolah tercinta sambil mungkin ada bakti sosialnya, tapi berhubung bulan Ramadhan sudah dekat jadi diambillah keputusan berbuka puasa bersama.
Akhirnya, acara yang disiapkan secara mendadak dan dengan waktu yang singkat, bisa terlaksana dengan baik. dari banyak nama yang bisa dihubungi (terima kasih banyak Facebook) akhirnya hanya sebagian besar saja yang bisa datang. Saya dan Yanti yang tiba pertama di rumah makan tempat acara berlangsung. Disusul kemudian oleh Euis, Dios dan Arry. Beberapa saat kemudian berturut-turut datang Menik, Indra, Irsan, Adi, Indah Irma beserta Syauqi sang buah hati dan suami, Iin dan Lukman.
Tidak terlalu lama menunggu, saat terdengar Adzan Maghrib, semua langsung menikmati makanan dan minuman yang sudah tersedia. Dibuka dengan es kacang merah yang mantap rasanya (hanya saya yang memesan es kacang merah, yang lain memesan es kopyor), kemudian dilanjutkan mencicipi sayur asem yang ternyata juga mantap, menyegarkan, dan terakhir menyantap nasi pluncut empal gepuk, tempe mendoan, ikan asin dan sambal. Meskipun bukan menu yang terkenal dari rumah makan tersebut, tapi rasa masakannya tetap enak. Setelah makan, rombongan perokok terpaksa mengungsi ke luar rumah makan karena larangan merokok dari ibu yang membawa anak bayi hehehehe….
Setelah Adi dan Indah pamit undur diri lebih dulu dari yang lain, tidak lama kemudian saya, Yanti dan Dios pamit undur diri juga. Saya sudah dikejar waktu untuk futsal, sementara Dios ikut kami karena sehabis futsal rencananya kami akan pergi karaoke. Kurang dari satu jam bermain, kami kemudian beranjak ke tempat karaoke. Kami sedikit beruntung karena waiting list malam itu tidak terlalu banyak dan pergerakannya tidak lama, sehingga kurang dari 30 menit menunggu, kami sudah berada di ruangan karaoke, bernyanyi gila-gilaan, tertawa dan bercanda. Setelah itu, tentu saja kami pulang, karena sudah malam.
Saya mengatakan pada Yanti bahwa malam itu kembali jadi hari yang membahalahkan. Paginya saya menemani Yanti ke daerah Jakarta Selatan, kemudian menempuh kemacetan menuju toko buku, berbuka puasa bersama teman SD saya, futsal, dan ditutup karaoke (setelah itu di rumah sempat menonton DVD sebentar). Melelahkan, tapi juga membahagiakan. Senangnya saya bisa menemani orang tersayang, bertemu teman-teman yang sudah lama tidak saya jumpai, serta melakukan kegiatan yang menjadi kesenangan saya, dan melakukannya bersama orang-orang terdekat.
Subscribe to:
Posts (Atom)