May 5, 2009

Artist

Artist

If a picture paints what I’m feeling

The picture will be so beautiful

It will be a masterpiece

If a song describes how I’m feeling

The song will be so wonderful

It will become an anthem of love

If a poem tells of how I’m feeling

The poem will be so stunning

It will be remembered forever

You are beautiful

You make my life so wonderful

You are the artist

That creates these amazing feelings

-- I Love U --

Stupid Parents


Sabtu kemarin, saya pergi menonton film Watchmen. Seperti yang diketahui orang banyak, film Watchmen bercerita mengenai sekelompok superhero yang menamakan diri sebagai Watchmen. Saat sesosok misterius membunuh salah satu anggota Watchmen, hal itu mempengaruhi anggota Watchmen lainnya.

Teman yang menemani saya menonton sempat berkomentar saat melihat beberapa anak kecil memasuki ruangan pemutaran film bersama orang tua mereka. Dia mengatakan mereka adalah “stupid parents”. Saya mengamini, karena buat saya mereka memang bodoh, atau kalaupun tidak bodoh mereka itu terlalu cuek sehingga mereka menjadi bodoh karena ke-tidak pedulian-nya. Setidaknya, itu menurut saya.

Setiap film Hollywood selalu mendapat rating yang akan membatasi usia penonton yang dapat menonton film tersebut. Watchmen, sudah sangat beruntung jika hanya mendapatkan rating PG-13 (Parental Guidence Under 13), dan Watchmen tidak beruntung, karena akhirnya mendapat rating R (Restricted – Film Dewasa jika kita mau membandingkan dengan rating yang dikeluarkan oleh lembaga perfilman kita yang mengurus hal ini). Dalam film Watchmen terdapat banyak adegan violence (kekerasan), sexual and nudity (seksualitas dan tubuh telanjang), dan kata-kata makian yang kasar.

Watchmen memang film tentang superhero. Tapi jika saja orangtua anak-anak itu mau lebih aware dan self-educated tentang perfilman sebelum menontonnya, tentunya mereka akan berpikir ulang mengajak anak-anak mereka menonton film yang sarat adegan negatif. Bagaimana jika setelah menonton Watchmen anak-anak itu mengidolakan tokoh dalam film itu? Dia kemudian akan meniru segala yang dilakukan tokoh itu, mulai dari memakai kostum norak, berkelahi, memakai kata kasar pada orang lain, dan mengikuti kegiatan seks yang terdapat dalam film. Jadi, tidak ada salahnya sebelum menonton film kita mencari tahu tentang film tersebut terlebih dahulu (terutama rating jika akan mengajak anak dibawah umur dewasa).

Mungkin juga, orangtua anak-anak hari itu sudah mengetahui bahwa film Watchmen bukanlah film “semua Umur”. Kemudian dengan dalih ingin menyenangkan anaknya, mereka tidak memperdulikan hal-hal semacam rating dan kemudian hanya mengandalkan Lembaga Sensor yang berperan (berharap bahwa Lembaga Sensor akan memotong semua adegan yang tidak pantas dilihat). Jika memang seperti ini, mereka telah membuat bodoh diri mereka sendiri. Bagaimana tidak? Pertama mereka sudah memposisikan diri mereka sama seperti orangtua yang benar-benar bodoh, yang tidak mengetahui bahwa mereka sedang membawa anak-anak mereka mendekat kearah kehancuran (halah…jadi lebay begini :P) dengan membiarkan anak mereka yang masih kecil melihat film yang dibuat untuk orang dewasa. Kedua, mereka juga menjadi bodoh dengan mengharapkan lembaga sensor akan berbuat banyak. Mereka tidak akan berbuat banyak. Untuk beberapa adegan memang lembaga sensor bekerja dengan baik, tapi di bagian lain mereka tidak seperti itu, karena jika mereka sangat ketat maka isi dari film akan menjadi berantakan. Ambil contoh film lokal berjudul Romeo & Juliet. Kata-kata makian seperti (maaf) anjing, dengan lancar dan lugas terdengar di telinga setiap penonton. Kalau lembaga sensor memotong bagian itu, maka kita akan menyaksikan film bisu, film tanpa suara sama sekali. Jika lembaga sensor memotong adegan kekerasan dalam Romeo & Juliet, maka tidak ada lagi bagian yang bisa ditonton dari film itu (tapi bener deh, film Romeo & Juliet beda banget, berani pisan euy. Hebring).

Lalu apa hanya orangtua yang patut disalahkan? Mereka memang adalah tameng, pelindung pertama bagi anak-anak itu, tapi ada lagi yang memegang peranan penting selain orangtua. Pihak bioskop juga seharusnya mengambil peranan. Jika film yang dipertontonkan adalah untuk dewasa, maka jangan dijual kepada mereka yang membawa anak kecil. Kalau memang sulit menolak, setidaknya mereka mengingatkan pembeli bahwa isi dari film yang akan dilihatnya terdapat adegan-adegan yang tidak pantas dilihat anak kecil. Jika mereka bersikeras mengajak anak mereka menonton, barulah itu sepenuhnya kesalahan orangtua. Selama ini, saya tidak pernah melihat petugas di bioskop melarang anak dibawah umur melihat film untuk orang dewasa, bahan untuk sekedar mengingatkan juga tidak pernah. Biarkan saja jika harus kehilangan 1-2 orang calon penonton, kehilangan 10-50 ribu rupiah, daripada kehilangan satu calon pemimpin masa depan yang baik, dan merusak masa depan bangsa ini (waduh waduh…ada apa ya? Tumben nih nulis seperti ini hehehehehehe……). Masa kalah dengan sebuah warung milik keluarga teman saya yang tidak mau menjual rokok kepada mereka yang masih kecil? Maluu doong :P

Oh, by the way, Watchmen keren banget!! Buat yang sudah dewasa, nonton aja, ga bakal menyesal.

- Love your children, for they are our future -

Romeo & Juliet


Romeo & Juliet

Siapa yang tidak mengenal karya William Shakespeare yang satu ini. Kisah cinta terlarang dua manusia yang berakhir tragis. Kisah yang sama juga yang menginspirasi sang sutradara untuk membuat karya film nasional yang berjudul Romeo Juliet. Kisahnya sendiri tidak sepenuhnya mengambil kisah aslinya, tetapi menyesuaikan dengan kejadian nyata di Negara kita, bahkan mungkin kejadian nyata di Negara lain.

Perseteruan keluarga Montague dan Capulet pada kisah aslinya dirubah menjadi perseteruan pendukung klub sepakbola Persija Jakarta –disebut The JakMania- dengan pendukung klub sepakbola Persib Bandung –disebut The Viking-. Dua anak manusia yang jatuh cinta pada pandangan pertama ini harus mengatasi perbedaan yang kadang diwarnai dengan kekerasan fisik.

Seorang JakMania di dalam suatu keributan antara JakMania dan Viking terpesona pada kecantikan seorang Lady Vikers –sebutan untuk pendukung perempuan klub Persib-. Sang Lady Vikers juga terpesona pada JakMania itu. Nasib mempertemukan mereka kembali di Bandung, di sebuah toko pakaian. Dari pertemuan kedua itu, mereka semakin dekat. Pertentangan datang saat kakak sang Lady Vikers - Desi - mengetahui bahwa kekasih adiknya adalah seorang JakMania. Sang JakMania - Ranggamone - juga mendapat pertentangan dari JakMania lain yang tidak suka dengan ide seorang JakMania berhubungan dengan seorang Viking. Keduanya tetap mempertahankan hubungan mereka, bahkan memutuskan untuk menikah diam-diam.

Lalu bagaimana akhir kisah cinta mereka? Apakah akan ada happy ending seperti kebanyakan film mainstream (bahkan untuk yang lokal)? Atau sang sutradara tetap pada pakem kisah Romeo & Juliet yang berakhir tragis? Jawabannya ya silahkan anda saksikan sendiri.

Film ini sebagai film lokal (film yang jarang saya lirik karena kebanyakan kualitasnya rendah) cukup memberikan penyegaran. Diantara judul-judul berbau “dunia mistis”, atau judul-judul komedi yang “nakal”, ide yang ditawarkan film ini sangat menarik. Film ini adalah film yang memiliki benang merah drama, tetapi dikemas sedemikian rupa sehingga terasa seperti komedi. Humor-humor ringan, kejadian yang membuat tersenyum bahkan tertawa, banyak dihadirkan dalam film ini. Cara yang bagus untuk menghilangkan kejenuhan penonton yang kemungkinan akan bosan dengan cerita yang cenderung datar dan mudah terbaca. Film ini juga cukup berani untuk menghadirkan banyak adegan kekerasan, banyak bahasa kasar, dan sebuah soft-love scene. Mungkin kalau film ini dirilis di Hollywood akan sangat beruntung jika hanya dapat rating PG-13, karena rating yang tepat untuk semua konten negatif dalam film adalah R (Restricted). Dan sedikit mengherankan mengapa film ini bisa lolos tayang dengan semua kata kasar dan adegan kekerasan (beneran, brutal) tidak disensor sedikitpun, mengingat beberapa film lain tidak lolos tayang dengan mulus.

Tapi biar bagaimanapun, sekali lagi, film ini memberikan hiburan tersendiri. Hadir diantara tema film yang sudah umum dan semakin menjadi seperti sinetron (mengingat kebanyakan produsernya adalah produser sinetron) sehingga banyak film yang hanya mengejar keuntungan materil dan melupakan sisi cerita dan seninya. Film ini bukan film lokal terbaik, tetapi menjadi baik karena beredar diantara film lokal kualitas rendah. Semoga semakin banyak sineas Indonesia (dan produsernya) yang berani mengesampingkan materi, sehingga berani untuk membuat film yang lebih berbobot.

- …tapi aku cinta sama anjing yang satu ini… -

PUSH


Push

Sebenarnya, post ini sudah saya buat tiga hari setelah menonton film ini. Berdasarkan berbagai macam pertimbangan, saya menunda untuk menerbitkannya. Akhirnya post ini terbengkalai di dalam flashdisk. So, here it goes……

Apakah anda seorang penggemar film Superhero? Jika jawabannya iya, apakah anda menggemari tokoh Superhero berkostum seperti Superman, Spiderman, Hulk, dan sebagainya? Ataukah anda menggemari tokoh yang berpenampilan manusia biasa tetapi memiliki kekuatan super seperti pada serial Heroes?

Jika anda penggemar Superhero berkostum, maka bersiap untuk kecewa jika menonton film ini. Tokoh di dalam film ini memiliki kekuatan super, tetapi mereka berpenampilan biasa tanpa kostum, layaknya tokoh-tokoh dalam serial Heroes. Tapi, anda yang menggemari Heroes juga harus bersiap kecewa menonton film ini jika anda berharap ceritanya akan serumit serial kesayangan anda.

Dalam film ini, dikisahkan saat jaman Nazi, dibentuklah sebuah organisasi bernama Division, yang bertujuan menciptakan manusia dengan kemampuan super dengan rekayasa genetik (mirip dengan serial Heroes, dimana semua kekuatan berawal dari rekayasa genetik) untuk digunakan dalam perang. Dari Division ini lahirlah orang-orang dengan kemampuan berbeda-beda. Seorang Mover adalah orang yang mempunyai kemampuan telekinesis (menggerakkan benda tanpa menyentuhnya). Seorang Pusher adalah orang dengan kemampuan mempengaruhi pikiran orang lain dan mengendalikan orang lain dengan pikirannya. Seorang Watcher adalah orang dengan kemampuan melihat kejadian masa depan. Seorang Sniff adalah seseorang yang dapat mengetahui kejadian di masa lalu atau mencari sesuatu dengan mengendus benda tersebut. Seorang Snitch adalah orang yang bisa menyembuhkan atau merusak tubuh manusia hanya dengan menyentuhnya. Seorang Bleeder adalah orang dengan kemampuan membunuh dan menghancurkan benda menggunakan teriakannya yang keras. Seorang Shifter adalah orang yang mampu merubah bentuk sebuah benda selama beberapa saat. Seorang Shadow adalah orang dengan kemampuan menyembunyikan apapun dari penciuman seorang Sniff. Sebenarnya ada satu kemampuan lagi, yaitu menghapus memori seseorang, tetapi saya lupa julukan yang diberikan (Ari udah ingat belum? Apa kita nonton lagi Ri?).

Setelah perang selesai, Division tetap berdiri, dan saat ini sedang melakukan penelitian untuk dapat meningkatkan kemampuan orang-orang yang memiliki kekuatan super. Division mengejar seorang Pusher, diperankan oleh Camilla Belle, yang melarikan diri dari Division dengan tas yang berisi sesuatu yang dapat menghancurkan Division. Pada saat yang sama, seorang Mover yang diperankan oleh Chris Evans dan seorang Watcher yang diperankan oleh Dakota Fanning juga mencari gadis tersebut, yang berhubungan dengan ramalan-ramalan yang didapat. Ada lagi sebuah keluarga yang terdiri dari seorang watcher dan 3 orang Bleeder, mereka juga mencari Pusher tersebut. Bagaimana akhir film ini? Apakah Division berhasil mendapatkan gadis itu? Ataukah Chris Evans dan Dakota Fanning yang berhasil? Dapatkah mereka menggagalkan dan menghancurkan Division? Silahkan anda saksikan sendiri.

Seperti sudah saya sebutkan diatas, bagi penggemar Heroes yang berharap film ini akan mirip dengan Heroes harus bersiap-siap untuk kecewa. Film ini terasa biasa saja, tidak seperti Heroes yang jalan ceritanya banyak twist dan selalu membuat penasaran. Mungkin kelebihan atau daya jual film ini ada pada Chris Evans dan Dakota Fanning. Evans, sang Human Torch dalam Fantastic Four, memiliki fans wanita yang cukup banyak jumlahnya. Sementara Fanning, siapa movie freak yang tidak kenal gadis cilik yang sekarang memasuki usia remaja ini? Kualitas akting Fanning sudah tidak diragukan lagi, bahkan mendapat pujian dari rekan aktor yang lebih senior. Tapi dalam film ini, akting Fanning tidak maksimal. Pengaruh bobot cerita yang terlalu ringan? Sangat dimungkinkan.

Anda masih berminat menonton film ini? Silahkan saja. Adegan aksinya cukup banyak, dan diselingi humor-humor yang menggelitik. Sebagai hiburan, film ini bisa dijadikan tontonan. Tapi buat yang Movie Freak, saya rasa film ini biasa-biasa saja. Saya sendiri masih bisa tersenyum keluar bioskop bukan karena film-nya awesome, tapi lebih karena partner nonton saya yang awesome. 